Setiap orang pasti mendambakan hidup bahagia, baik di dunia lebih-lebih di akhirat. Akan tetapi harus diingat bahwa kebahagiaan itu bukan tujuan, melainkan hanyalah wasilah (penghantar) menuju tujuan hidup yang sebenarnya yaitu Allah SWT.
Para Ulama, khususnya Ulama Shufi telah mengajarkan sebuah ikrar, dimana ikrar tersebut hendaknya ditancapkan di hati setiap individu. Ikrar tersebut berbunyi:
اِلَهِى اَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَرِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ
“Duh Gusti, Panjenengan-lah ingkang kulo tuju lan Ridla Panjenengan-lah ingkang kulo padosi.”
“Tuhanku… Engkaulah tujuan hidupku, dan hanya Ridla-Mu yang aku cari.”
Guru penulis pernah menyampaikan bahwa untuk dapat meraih kesuksesan, baik sukses di dunia maupun sukses di akhirat disyaratkan bahagia. Artinya, seseorang tidak akan mungkin dapat meraih kesuksesan kalau dirinya belum bahagia.
Dan kita semua tahu, betapa banyak jalan dan cara menuju bahagia. Salah satu diantaranya adalah dengan terus menerus memperbaiki niat sampai benar dalam berniat di setiap aktivitas yang dilakukan. Sedang niat yang benar itu adanya di hati as-shafa (hati yang bening dari berbagai noda, hati yang bersih dari berbagai kotoran, hati yang suci dari berbagai najis).
Bersih atau kotornya hati seseorang akan berdampak pada niatnya dalam beramal. Jika hatinya bersih, maka niatnya akan menjadi benar. Dan benar tidaknya niat akan menentukan kualitas dari amal yang dilakukannya. Layak diterima atau tidak.
Hati manusia merupakan pangkal dari seluruh perbuatannya. Hati adalah sumbernya. Apabila di dalam hati ada sebuah pengetahuan dan sebuah keinginan maka hal itu akan meresap ke dalam tubuh dengan pasti, tidak mungkin tubuh akan menyelisihi dari apa yang diinginkan hati. Hal ini berdasarkan Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini:
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah bahwa dalam setiap tubuh manusia terdapat segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, gumpalan darah itu adalah hati.”
Di akhir artikel ini, penulis tutup dengan surat Ar Rum ayat 41 untuk dijadikan sebagai bahan renungan. Allah SWT berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Rum : 41).
Sayidina Abu Bakar as Shiddiq, Khalifah Pertama yang juga Sahabat terdekat Rasulullah SAW menafsirkan ayat di atas sebagai berikut:
قال أبو بكر في تفسير ذلك البر هو اللسان والبحر هو القلب فإذا فسد اللسان بكت عليه النفوس وإذا فسد القلب بكت عليه الملائكة
“Daratan yang dimaksud adalah lisan dan laut yang dimaksud adalah hati. Jika lisan manusia rusak maka menangislah manusia yang lainnya, dan jika hati yang rusak maka menangislah para malaikat.” (Lihat Syekh Muhammad Nawawi Banten, Nashaihul Ibad, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 6).
Mari kita berdoa dengan redaksi yang telah diajarkan oleh Junjungan kita, Nabi Muhammad SAW berikut:
اَللَّهُمَّ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
“Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.”
Terima kasih 🙏